Difteri adalah infeksi bakteri yang umumnya menyerang selaput lendir pada tenggorokan dan hidung. Terkadang juga dapat menyebabkan kulit meradang. Penyakit memerlukan penanganan serius karena dapat menyebabkan kematian.
Menurut World Health Organization (WHO), tahun 2016 Indonesia menyubang 342 pasien dari keseluruhan kasus di dunia yang tercacat yaitu 7.007 kasus.
Tercatat 3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 dan angka ini menempatkan Indonesia menjadi urutan ke-2 setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak.
Dari 3.353 orang yang menderita difteri 110 di antaranya meninggal dunia. Hampir 90% dari orang yang terinfeksi, tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap.
Pencegahan penyakit ini dengan imunisasi. Imunisasi DPT merupakan kombinasi difteri dengan pertusis (batuk rejan) dan tetanus. Sebelum usia 1 tahun, anak diwajibkan mendapat 3 kali imunisasi DPT. Jika imunisasi sudah dilakukan secara lengkap mudah-mudahan tidak akan terinveksi bakteri ini.
Penyebab Difteri
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Penyebaran bakteri ini dapat terjadi dengan mudah, terutama bagi orang yang tidak mendapatkan vaksin difteri dan atau vaksinasinya belum lengkap.
Penyebaran bakteri ini dapat terjadi dengan beberapa cara berikut dan wajib diwaspadai, seperti:
- Melalui udara terhirup ketika penderita bersin atau batuk. Ini merupakan cara penularan difteri yang paling umum.
- Barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya sisir atau handuk.
- Sentuhan langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit penderita.
Bakteri difteri akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel-sel sehat dalam tenggorokan. Sel-sel yang mati inilah yang akan membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada tenggorokan.
Di samping itu, racun yang dihasilkan juga berpotensi menyebar dalam aliran darah dan merusak jantung, ginjal, serta sistem saraf.
Difteri bisa jadi tidak menunjukkan gejala apapun sehingga penderitanya tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi.
Apabila tidak menjalani pengobatan dengan tepat, mereka berpotensi menularkan penyakit ini kepada orang di sekitarnya, terutama mereka yang belum mendapatkan imunisasi.
Gejala Difteri
Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak bakteri masuk ke tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari.
Gejala-gejala dari penyakit ini meliputi:
- Pada tenggorokan dan amandel tertutup lapisan tipis berwarna abu-abu
- Tenggorokan terasa sakit diikuti suara serak
- Panas /demam dan menggigil
- Sesak napas atau napas yang cepat.
- Pembengkakan kelenjar limfe atau kelenjar gondok pada leher.
- Mudah lelah dan badan terasa lemas.
- Pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang bercampur darah.
Difteri juga terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan luka seperti borok (ulkus). Ulkus tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi biasanya akan meninggalkan bekas pada kulit.
Jika Anda atau anggota keluarga Anda menunjukkan gejala-gejala di atas segera periksakan ke dokter atau Puskesmas terdekat. Penyakit ini harus secepatnya ditangani untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih luas.
Komplikasi Difteri
Diperkirakan 1 dari 5 penderita balita dan lansia di atas 40 tahun meninggal dunia akibat komplikasi difteri.
Beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa di antaranya meliputi:
Masalah pernapasan.
Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan.
Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru dan berpotensi memicu reaksi peradangan pada paru-paru menyebabkan gagal napas.
Kerusakan jantung
Berpotensi masuk ke jantung dan menyebabkan peradangan otot jantung atau miokarditis, berakibat detak jantung tidak teratur, gagal jantung, dan kematian mendadak.
Kerusakan saraf
Pembengkakan saraf kaki dan tangan, paralisis (kelumpuhan) diafragma yang berakibat susah bernafas dan terjadi masalah pada saluran kemih.
Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh.
Karena itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
Difteri hipertoksik
Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal.
Baca Juga: Cara Mengetahui Demam pada Balita Tanpa Thermometer
Pencegahan Difteri dengan Vaksinasi
Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan vaksin. Pencegahan difteri tergabung dalam vaksin DPT. Vaksin ini meliputi difteri, tetanus dan pertusis atau batuk rejan.
Vaksin DPT termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia.
Pemberian vaksin ini dilakukan 6x (6 kali) pada saat
- anak berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan (2,4,6 bulan)
- satu setengah tahun (18-24 bulan), dan
- lima tahun (anak TK atau kelas 1 dan 2 SD pada saat BIAS bulan imunisasi anak nasional
Selanjutnya dapat diberikan booster dengan vaksin sejenis (Tdap/Td) pada usia 10 tahun dan 18 tahun. (Vaksinasi demikian yang dikatakan imunisasi lengkap) Vaksin Td dapat diulangi setiap 10 tahun untuk memberikan perlindungan yang optimal.
Apabila imunisasi DPT terlambat diberikan, imunisasi kejaran yang diberikan tidak akan mengulang dari awal. Bagi anak di bawah usia 7 tahun yang belum melakukan imunisasi DPT atau melakukan imunisasi yang tidak lengkap, masih dapat diberikan imunisasi kejaran dengan jadwal sesuai anjuran dokter anak Anda.
Namun bagi mereka yang sudah berusia 7 tahun dan belum lengkap melakukan vaksin DPT, terdapat vaksin sejenis yang bernama Tdap untuk diberikan.
Catatan : Khusus ibu hamil dianjurkan melakukan imunisasi Td (tetanus dan difteri) sebanyak 2 kali, karena imunisasi ini juga sudah termasuk upaya pencegahan dini penyakit difteri.
Perlindungan tersebut umumnya dapat melindungi anak terhadap difteri seumur hidup.